Minggu, 12 Agustus 2012

AKU BERBEDA


Siapa yang tak ingin segala kebutuhannya tercukupi, bahkan berlimpah. Siapa yang tak ingin hidup tanpa beban dan segalanya ada ketika kita butuh...?

Siapa yang tak ingin...?
Siapa yang bisa mengelak dengan pertanyaan itu, semuanya ingin pun juga aku. Aku berbeda, lantas bermasalahkah...!, aku berbeda , salahkah...!. aku tak lagi memandang hidup dari segi kenikamatan semata. Aku tak lagi memandang masa usiaku untuk semata mencarai alasan untuk bersenang-senang dan berpesta.  

Jam berdetak jelas di telinga ku, suaranya seolah-oleh mendayu-dayu di otak ku. Semua nampak jelas, aku mengingat kata-kata itu, mengingat ekspresi itu, mengingat cara mereka memperlakukan ku, semuanya tak lepas dari sindiran dan penolakan. Mata ku menerawang jauh kemasa lalu, ketika aku sering bersama mereka,  ketika itu pula aku lebih sering mengikuti kata-kata mereka. Akupun merindukan masa itu sekarang, setidaknya aku bisa merasakan arti sebuah persahabatan.

Apa yang salah dari diriku, ketika aku sekarang lebih sibuk dengan pekerjaanku, ketika aku lebih memilih hidup mandiri dengan konsekuensi segalanya serba irit karna ku batasi. Ketika aku lebih memilih merubah penampilan dan jilbab ku. Ketika aku lebih memilih diam ketimbang tertawa terbahak-bahak atas kekurangan yang orang lain miliki. Ketika aku lebih memilih bungkam ketimbang nimbrung dalam orolan yang membahas kesalahan sahabat sendiri. Namun ternyata, ketika itu pula aku harus siap jauh dari orang-orang yang dulu pernah mengaku sahabat ku. 

Namaku Nadia, lengkapnya Nadia Puspita. Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di tempatku. Aku lahir dari keluarga serba ada, Ayahku termasuk orang kaya di desaku. Setidaknya anggapan itulah yang ada di benak teman-teman sekelasku. Meski penampilanku biasa saja, namun aku memiliki segalanya. Apa yang teman-teman sekelasku tak memiliki, maka akulah yang memilikinya terlebih dahulu. Bahkan tugaspun, ketika mereka kepayahan, maka akulah yang merampungkan terlebih dahulu, sehingga mereka dengan leluasa menyalin tugasku. Gambaran sosok sahabat saat itu adalah ketika mereka mengeruminiku. Waktu berlalu sampai ku menginjak semester empat. Dari situlah kusadari, mana mereka yang sejatinya mengaku sahabat, atau mereka yang hanya memanfaatkanku untuk menjadi sahabat ku.

Mereka menjauh saat aku memutuskan merubah segalanya, bahkan mereka lebih senang menggunjing keadaanku ketimbang mensupprot ku ketika aku kekurangan, entah uang untuk membeli buku atau sekedar lauk untuk makan siangku. Agrrrrrr....... aku merasa kewalahan, bukan karena keputusan ku untuk merubah diri ku, tapi aku kuwalahan atas sikap mereka. Jilbab besar ku selalu jadi alasan untuk mereka menjauhi ku, sikap irit ku akan jadi bahan ejekan, apalagi saat ada kegiatan dan membutuhkan uang untuk iuran meski sekedar dua puluh ribu. Aku tak butuh belas kasihan mereka, karena inilah keputusan ku. keputusan untuk hidup mandiri dan merubah diri. Akupun tak butuh bantuan mereka karena aku sudah memiliki temapat dimana aku harus meminta pertolongan. Namun, tidakkah mereka bisa menghargaiku. Jujur aku malu, jujur aku sedih, jujur aku ingin menangis di pelukan sahabatku. Mana mereka, mana....! tanda tanya besar atas keberadaan mereka saat ini....

Panas terik menambah kegalauanku atas kejadian yang baru saja terjadi padaku. Ku pandangi jam tangan yang bersemayam di tangan kananku, hhhhhh helaan kecil setidaknya mengurangu beban di hatiku. Dua jam yang lalu, aku masih di kampus. Aktifitas biasa setelah jam kuliah selesai, aku memutuskan untuk berkumpul dengan teman-teman sekelasku. Ternyata, akan ada rencana yang akan mereka lakukan sore ini. Aku tersenyum dan berharap bisa ikut dengan mereka. Ku tepis rasa duka ku yang lalu, mencoba memperbaiki semuanya, berharap semua akan menjadi lebih baik, dan akupun mulai bertanya, “mau ada acara apa nih, ikut donkk”....sontak mereka menjawab dengan sindiran yang sangat nyata “idih, sapa lu... dah sono ngaji-ngaji aja. Tuh, lu kan demen ama yang jalan sama nunduk-nunduk, kesandung lah baru tau rasa. Ni mah parti kita, bukan buat lu – lu yang sok alim”... jlebbb hatiku benar-benar tertusuk. Ingin rasanya ku segera menghindar, bagaimana caranya. Langsung pergi dari kerumunankah, ahhh itu hanya akan menambah bahan tertawaan mereka. Hanya ku balas dengan senyuman, yah tepatnye senyuman pahit. Selepas itu aku diam dan memanfaatkan buku yang aku bawa untuk berpura-pura membacanya. Dalam hati ku, aku rentak dan menagis dalam diam. Meski air mata ini tertahan dalam-dalam. Ingin rasanya segera pulang ke kosan, tidur dan melupakan segala....

Hhh.............. jarak yang hanya satu kilo meter terasa berpuluh-puluh kilo, ternyata masih jauh kosan ku, untuk di tempuh dengan berjalan kaki. Tapi aku sendiri malas untuk mempercepat langkah ku.... perjalanan yang coba untuk aku nikmati, meski sengat matahari cukup menguji emosi. Tik tok tiik tok... aku membunyikan tiap langkah ku, dengan senyuman yang sedikit aku kembangkan, yakin bahwa semuanya akan berakhir dengan indah...

Bippppp........ HP ku berbunyi. Tanda ada SMS yang masuk.  “uiiiiiii, mau kemana lu panas-panas. Berhenti, gua yoook, gua mau manggil gak enak teriak panas-panas, secara suara gua kan emas, takut banyak yang kesemsem sama suara gueee...” . hahahahaha dalam hati ku tertawa, alhamdulillah ada pencerahan. Akupun membalasnya dengan sapaan humor “mau pulang gua, jadi artis di kampus cukup melelahkan, gua mau rehat,,,, hahahaha, mau kemana tah...? “. SMS dari Ema sedikit menghiburku, dia adalah salah seorang aktifis lembaga dakwah di kampus, aktif, enerjik dan selalu bisa membuat ku tertawa,setidaknya itulah yang membuat ku kagum dengan nya dan teman-temannya. Bahwa aktifis juga bisa berbahasa “Lo and Gua” gak cuman ana (aku) , antum (arti sebenarnya adalah kalian, namun lebih digunakan untuk membahasakan kamu) , akhi (panggilan untuk aktifis laki-laki) dan ukhti (panggilan untuk aktifis perempuan). Sesaat kemudian Ema muncul dengan motor beat merahnya, “nyok ikut gua, lu kayanya butuh obat... hahahahaha “.... aku mengerti dengan kata-katanya. Tanpa berfikir panjang akupun langsung duduk di jok belakang. Wushhhh lima belas menit kemudian sampai juga di pelataran luas yang sangat teduh, banyak para akhwat di sana. Rupanya mereka sedang ada rujak party. Aku bukan siapa-siapa, aku anak baru di kalangan mereka, akupun tak tau siapa-siapa tentang mereka. Namun dari Ema aku mulai mengenal mereka. Akrab, lembut, halus, dan tutur yang sopan, aku suka....

Lepas dari peristiwa tadi aku mulai mengerti, dihadapan ku ada banyak orang yang menuntun langkah ku, meski ada banyak yang mencibir mereka, tapi mereka yakin, mereka tak sendiri. Aku mulai paham dengan kondisi mereka, mereka memang belum bisa di pandang sebagai orang yang paham dengan agama, bukan orang yang alim, namun cukup seing di katakan sok alim, bukan orang pandai tapi mereka mencoba untuk tau segalanya. Bukan ustadz, tapi mereka banyak belajar dari para ustadz. Dan itulah yang membuat ku bangga dengan mereka. Setidaknya sekaranglah yang coba aku lakukan saat ini. Mencoba merubah segalanya, bukan seperti mereka, tapi seperti kata hati ku. aku memang tak tau apa yang akan terjadi esok,  apa yang akan terjadi dengan teman-teman sekelasku bila aku tetap bertahan dengan perubahan ku. namun aku yakin, aku akan menjadi lebih baik dari mereka.......

Salam ukhuwah

Inspirasi seorang sahabat

Bandar Lampung, 26 Juli 2012

Tidak ada komentar: