Siapa yang tak ingin segala kebutuhannya tercukupi, bahkan berlimpah. Siapa yang tak ingin hidup tanpa beban dan segalanya ada ketika kita butuh...?
Siapa
yang tak ingin...?
Siapa
yang bisa mengelak dengan pertanyaan itu, semuanya ingin pun juga aku. Aku
berbeda, lantas bermasalahkah...!, aku berbeda , salahkah...!. aku tak lagi
memandang hidup dari segi kenikamatan semata. Aku tak lagi memandang masa
usiaku untuk semata mencarai alasan untuk bersenang-senang dan berpesta.
Jam
berdetak jelas di telinga ku, suaranya seolah-oleh mendayu-dayu di otak ku. Semua
nampak jelas, aku mengingat kata-kata itu, mengingat ekspresi itu, mengingat
cara mereka memperlakukan ku, semuanya tak lepas dari sindiran dan penolakan. Mata
ku menerawang jauh kemasa lalu, ketika aku sering bersama mereka, ketika itu pula aku lebih sering mengikuti
kata-kata mereka. Akupun merindukan masa itu sekarang, setidaknya aku bisa
merasakan arti sebuah persahabatan.
Apa
yang salah dari diriku, ketika aku sekarang lebih sibuk dengan pekerjaanku,
ketika aku lebih memilih hidup mandiri dengan konsekuensi segalanya serba irit
karna ku batasi. Ketika aku lebih memilih merubah penampilan dan jilbab ku. Ketika
aku lebih memilih diam ketimbang tertawa terbahak-bahak atas kekurangan yang
orang lain miliki. Ketika aku lebih memilih bungkam ketimbang nimbrung dalam
orolan yang membahas kesalahan sahabat sendiri. Namun ternyata, ketika itu pula
aku harus siap jauh dari orang-orang yang dulu pernah mengaku sahabat ku.
Namaku
Nadia, lengkapnya Nadia Puspita. Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi
favorit di tempatku. Aku lahir dari keluarga serba ada, Ayahku termasuk orang
kaya di desaku. Setidaknya anggapan itulah yang ada di benak teman-teman
sekelasku. Meski penampilanku biasa saja, namun aku memiliki segalanya. Apa
yang teman-teman sekelasku tak memiliki, maka akulah yang memilikinya terlebih
dahulu. Bahkan tugaspun, ketika mereka kepayahan, maka akulah yang merampungkan
terlebih dahulu, sehingga mereka dengan leluasa menyalin tugasku. Gambaran
sosok sahabat saat itu adalah ketika mereka mengeruminiku. Waktu berlalu sampai
ku menginjak semester empat. Dari situlah kusadari, mana mereka yang sejatinya
mengaku sahabat, atau mereka yang hanya memanfaatkanku untuk menjadi sahabat
ku.
Mereka
menjauh saat aku memutuskan merubah segalanya, bahkan mereka lebih senang
menggunjing keadaanku ketimbang mensupprot ku ketika aku kekurangan, entah uang
untuk membeli buku atau sekedar lauk untuk makan siangku. Agrrrrrr....... aku
merasa kewalahan, bukan karena keputusan ku untuk merubah diri ku, tapi aku
kuwalahan atas sikap mereka. Jilbab besar ku selalu jadi alasan untuk mereka
menjauhi ku, sikap irit ku akan jadi bahan ejekan, apalagi saat ada kegiatan
dan membutuhkan uang untuk iuran meski sekedar dua puluh ribu. Aku tak butuh
belas kasihan mereka, karena inilah keputusan ku. keputusan untuk hidup mandiri
dan merubah diri. Akupun tak butuh bantuan mereka karena aku sudah memiliki
temapat dimana aku harus meminta pertolongan. Namun, tidakkah mereka bisa
menghargaiku. Jujur aku malu, jujur aku sedih, jujur aku ingin menangis di
pelukan sahabatku. Mana mereka, mana....! tanda tanya besar atas keberadaan
mereka saat ini....
Panas
terik menambah kegalauanku atas kejadian yang baru saja terjadi padaku. Ku
pandangi jam tangan yang bersemayam di tangan kananku, hhhhhh helaan kecil
setidaknya mengurangu beban di hatiku. Dua jam yang lalu, aku masih di kampus.
Aktifitas biasa setelah jam kuliah selesai, aku memutuskan untuk berkumpul
dengan teman-teman sekelasku. Ternyata, akan ada rencana yang akan mereka
lakukan sore ini. Aku tersenyum dan berharap bisa ikut dengan mereka. Ku tepis
rasa duka ku yang lalu, mencoba memperbaiki semuanya, berharap semua akan
menjadi lebih baik, dan akupun mulai bertanya, “mau ada acara apa nih, ikut donkk”....sontak mereka menjawab dengan
sindiran yang sangat nyata “idih, sapa
lu... dah sono ngaji-ngaji aja. Tuh, lu kan demen ama yang jalan sama
nunduk-nunduk, kesandung lah baru tau rasa. Ni mah parti kita, bukan buat lu –
lu yang sok alim”... jlebbb hatiku benar-benar tertusuk. Ingin rasanya ku
segera menghindar, bagaimana caranya. Langsung pergi dari kerumunankah, ahhh
itu hanya akan menambah bahan tertawaan mereka. Hanya ku balas dengan senyuman,
yah tepatnye senyuman pahit. Selepas itu aku diam dan memanfaatkan buku yang
aku bawa untuk berpura-pura membacanya. Dalam hati ku, aku rentak dan menagis
dalam diam. Meski air mata ini tertahan dalam-dalam. Ingin rasanya segera
pulang ke kosan, tidur dan melupakan segala....
Hhh..............
jarak yang hanya satu kilo meter terasa berpuluh-puluh kilo, ternyata masih
jauh kosan ku, untuk di tempuh dengan berjalan kaki. Tapi aku sendiri malas
untuk mempercepat langkah ku.... perjalanan yang coba untuk aku nikmati, meski
sengat matahari cukup menguji emosi. Tik tok tiik tok... aku membunyikan tiap
langkah ku, dengan senyuman yang sedikit aku kembangkan, yakin bahwa semuanya
akan berakhir dengan indah...
Bippppp........
HP ku berbunyi. Tanda ada SMS yang masuk.
“uiiiiiii, mau kemana lu panas-panas.
Berhenti, gua yoook, gua mau manggil gak enak teriak panas-panas, secara suara
gua kan emas, takut banyak yang kesemsem sama suara gueee...” . hahahahaha
dalam hati ku tertawa, alhamdulillah ada pencerahan. Akupun membalasnya dengan
sapaan humor “mau pulang gua, jadi artis
di kampus cukup melelahkan, gua mau rehat,,,, hahahaha, mau kemana tah...? “. SMS
dari Ema sedikit menghiburku, dia adalah salah seorang aktifis lembaga dakwah
di kampus, aktif, enerjik dan selalu bisa membuat ku tertawa,setidaknya itulah
yang membuat ku kagum dengan nya dan teman-temannya. Bahwa aktifis juga bisa
berbahasa “Lo and Gua” gak cuman ana (aku) , antum (arti sebenarnya adalah kalian, namun lebih digunakan untuk
membahasakan kamu) , akhi (panggilan untuk aktifis laki-laki) dan ukhti
(panggilan untuk aktifis perempuan). Sesaat kemudian Ema muncul dengan motor
beat merahnya, “nyok ikut gua, lu kayanya
butuh obat... hahahahaha “.... aku mengerti dengan kata-katanya. Tanpa berfikir
panjang akupun langsung duduk di jok belakang. Wushhhh lima belas menit
kemudian sampai juga di pelataran luas yang sangat teduh, banyak para akhwat di
sana. Rupanya mereka sedang ada rujak party. Aku bukan siapa-siapa, aku anak
baru di kalangan mereka, akupun tak tau siapa-siapa tentang mereka. Namun dari
Ema aku mulai mengenal mereka. Akrab, lembut, halus, dan tutur yang sopan, aku
suka....
Lepas
dari peristiwa tadi aku mulai mengerti, dihadapan ku ada banyak orang yang
menuntun langkah ku, meski ada banyak yang mencibir mereka, tapi mereka yakin,
mereka tak sendiri. Aku mulai paham dengan kondisi mereka, mereka memang belum
bisa di pandang sebagai orang yang paham dengan agama, bukan orang yang alim,
namun cukup seing di katakan sok alim, bukan orang pandai tapi mereka mencoba
untuk tau segalanya. Bukan ustadz, tapi mereka banyak belajar dari para ustadz.
Dan itulah yang membuat ku bangga dengan mereka. Setidaknya sekaranglah yang
coba aku lakukan saat ini. Mencoba merubah segalanya, bukan seperti mereka,
tapi seperti kata hati ku. aku memang tak tau apa yang akan terjadi esok, apa yang akan terjadi dengan teman-teman
sekelasku bila aku tetap bertahan dengan perubahan ku. namun aku yakin, aku
akan menjadi lebih baik dari mereka.......
Salam
ukhuwah
Inspirasi
seorang sahabat
Bandar
Lampung, 26 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar