Ia seorang gadis yang periang, cantik, dan cekatan. Tersirat senyum yang selalu terkembang dan itu ia pertahankan dimanapun ia berada, namun jauh di dalam hatinya tersimpan kepedihan masa kecil yang tak kunjung lekang hingga saat ini.
Aku
hanya bisa menundukan kepala mendengar ceritanya. Menahan bendungan air mata
yang sedikit lagi akan tumpah, ku coba menahan dalam-dalam meski terasa benar rasa
perih yang tertanam dalam hatinya,
Sayang....
kau tak sendiri.
Sekarang,
aku mengetahui , ada satu wajah lagi yang ia tutupi di balik senyum riangnya. Raut
wajah yang selama ini ia sembunyikan di hadapan teman-temannya tumpah di
hadapan ku, ketika ia menangis dan mecoba berkata meski terbata-bata. Ku
rasakan benar posisinya, aku tau benar bagaimana hatinya ingin menjerit dan
butuh bala bantuan. Kenapa harus ada sebutan anak tiri, tak ada yang ingin
menyandang status seperti itu , saat kesetiaan di balas dengan cacian dan
hinaan. Kehilangan sosok seorang Ibu bukan hal yang perlu diratapi, namun bila
sosok itu tergantikan oleh orang yang tak mengenal arti mengasihi seorang anak
yang merindukan sosok yang penyayang dalam keluarga. Tegar, hanya itu yang
mampu ia pertahankan. Meski dalam kesendiriannya, ia menangis. Hari ini ia luluh,
hari ini ia merasa lelah, hari ini ia menyerah, atas do’a dan pengharapan bahwa
segalanya akan berubah. Rintik air mata membuat getaran saat ia mencoba
berbicara “mbak, aku merindukan ibuku,
bolehkah aku memelukmu”. Ya Allah, ku peluk ia erat-erat.
Program
KKN dan PPL di mulai hari ini, program yang mau tidak mau harus aku ikuti,
karena wajib sebagai syarat wisuda. Hanya yang aku permasalahkan di sini adalah
fasilitas yang cukup memberatkan hati, transportasi yang sama sekali tak
memadai, jalan yang tak bersahabat dan lain sebagainya. Dan aku harus bertahan
selam delapan puluh hari di Desa Margomulyo Kecamatan Gunung Terang Kabupaten
Tulang Bawang Barat di daerah yang cukup terpencil yang jauh dari akses
informasi, jangankan internet, sinyalpun berasa pelit untuk sekedar berkirimkan
pesan.
Jam
delapan tepat, jam pertama di mulai di hari senin selepas upacara. Hari ini adalah hari pertama aku mengajar di
sekolah, dan ini untuk yang pertama aku menyandang status sebagai guru meski
hanya sementara. Antara sanggup dan tak sanggup, antara ragu dan perasaan belum
pantas berbicara di depan, memikirkan diriku sendiri yang belumlah baik. Ahhhh
ku tepis semuanya, dan akupun berjanji pada diriku sendiri, mulai hari ini dan
seterusnya aku akan terus memperbaiki diri, menjadi ibu untuk murit-murit ku,
menjadi teladan untuk mereka, dan menjadi sahabat mereka. Akupun sudah sedikit
belajar tentang tatacara mengajar, bukan sekedar mengajar, tapi bagaimana
layaknya seorang guru menjadi sahabat dikelas. Dari pengalaman seminar dan
training yang sering aku berikan baik di sekolah-sekolah maupun di luar
sekolah. Akupun dapat sedikit memahami
karakter mereka. Meski ini adalah kali pertamanya aku menghadapi mereka, tepatnya
untuk mengajar matematika.
Teringat
motivasi yang benar-benar menggugah pikiranku, kata-kata motivasi yang ku
dapatkan dari seorang guru yang selama ini banyak mengajarkan ku tentang dunia
training. Saat itu, kami berjumpa di salah satu moment training besar di
Bandung, dan beliau mengatakan padaku, “murit
tak membutuhkan guru yang pintar, namun murit membutuhkan guru yang bisa
mengajar, tidak ada murit yang bodoh, yang ada adalah guru yang membuat mereka
merasa bodoh sehingga mereka di katakan boroh, semua murit pintar, karena guru
yang bisa mengajar, begitu pula dalam training, siapa yang ada di depan kita
adalah murit-murit kita”. Motivasi yang benar-benar tertanam dalam diriku, dan saat inipun kata-kata itulah yang
menemaniku melangkah menuju ruang kelas.
Aku
masih agak canggung saat kunampakkan diriku di depan anak-anak. Deg... tarikan
nafas ku membuatku sedikit rileks, tak kusadari ternyata banyak mata yang
melihatku dan menungguku mengeluarkan kata-kata. Ahhh mereka, tubuh mereka
tinggi-tinggi berbeda jauh dengan ku, kecil,
mungil, dan sekarang harus mulai terbiasa dengan sebutan Guru. Jam pertama ku
mengisi kelas tiga, sapaan hangat dan perkenalan benar-benar mencairkan
suasana. Alhamdulillah sambutan mereka sangat baik, sedikit PD ternyata mereka
lebih menyukaiku ketimbang guru sebelumnya, hahaha... bahak ku dalam hati, dan
moment itu tak kalah dari kelas lainnya. Alhamdulillah.... lagi-lagi tak lelah
ku mengucapkan rasa syukur kepada-Nya atas ilmu yang telah Ia berikan padaku.
Sehingga aku dengan mudah mempelajari karakter mereka...
Sudah
tiga minggu aku mengajar disini. Aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan
disini, Desa Margo Mulyo, Tulang Bawang Barat dan ini kali pertama aku singgah
di tempat orang dalam waktu yang lama. Ahhh masih enam puluh tujuh hari lagi
aku disini. Mengajar di MA Hidayatul Mubtadiin yang rawan dengan murit yang
hampir punah. Tapi yang saya lihat adalah semangat belajar mereka. Tak kenal
lelah meski ku akui, sulit untuk mereka menerima materi pelajaran. Karena
keterbatasan transportasi dan fasilitas yang memadai. Akupun sangat senang,
bisa memberikan sedikit yang aku miliki meski hanya sekedar ilmu.
Hari
ini jadwal ku masuk kelas tiga, ada satu yang mengganjal hati ku di sini.
Seorang anak dengan wajah yang sangat ceria dan bersemangat, namun jauh di
dalam hatiku mengatakan ada yang sedang ia sembunyikan. Nampak jelas aku dapat
membaca sedikit apa yang membebani pundaknya, apakah itu...? akupun tak tau.
Hingga tumbuh rasa penasaran ku, dan ku beranikan untuk sekedar salam sapa
lebih dekat. Keesokan harinya aku mendapatkan surat darinya, tak bisa berbicara
di hadapan ku, meski ingin namun lidah terasa kelu. Tak bisa mengirimkan pesan
lewat HP karena bingung memulai dari mana. Hingga ia memutuskan untuk
menuliskan dalam tiga lembar kertas yang ia titipkan pada teman sebangkunya.
Ku
baca dalam-dalam, tetesan air mata tak cukup mewakili rasa duka yang ku rasakan
dari ceritnya. Bahkan teman sebangkunya tak tau apa-apa perihal kemelut di
hatinya. Tak ada yang tau mengapa selama ini ia tinggal hanya dengan neneknya,
pun tak ada yang menyadari mengapa selama ini ia jarang menceritakan sosok
seorang ibu, ia begitu pandai menyembunyikannya, namun sejatinya ia terluka....
Habis
sudah masa KKN dan PPL, ada perpisahan
kecil dari sekolah melepas kepergian kami, kami sekelompok sempat menginap
semalam di sekolah, berapi unggun ria dan acara bakar ayam kecil-kecilan. Ku
lihat anak itu melihat ku lekat, kudekati ia, dan “brukkk” ia ada dekapanku,
dalam pelukan ku, menangis tersedu –sedu. Pesan yang ia sampaikan pun ku balas
dengan sepucuk surat, alhamdullah bisa sedikit mengobati rasa sakitnya, namun
yang membuat ku pilu adalah kata-katanya “mbak,
maukah jadi Ibuku...?”. Ya Allah, andaikan ku mampu, pantaskah aku, ia yang
mampu menyimpan sembilu di balik lentera hatinya, ia yang mampu menutupi luka,
ia yang begitu tegar dan mampu menahan amarah dalam-dalam. Sedangkan aku, Ya
Allah...... aku belajar banyak dari anak ini....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar