Minggu, 12 Agustus 2012

KENAPA HARUS ADA SEBUTAN ANAK TIRI


Ia seorang gadis yang periang, cantik, dan cekatan. Tersirat senyum yang selalu terkembang dan itu ia pertahankan dimanapun ia berada, namun jauh di dalam hatinya tersimpan kepedihan masa kecil yang tak kunjung lekang hingga saat ini.

Aku hanya bisa menundukan kepala mendengar ceritanya. Menahan bendungan air mata yang sedikit lagi akan tumpah, ku coba menahan dalam-dalam meski terasa benar rasa perih yang tertanam dalam hatinya,

Sayang.... kau tak sendiri.

Sekarang, aku mengetahui , ada satu wajah lagi yang ia tutupi di balik senyum riangnya. Raut wajah yang selama ini ia sembunyikan di hadapan teman-temannya tumpah di hadapan ku, ketika ia menangis dan mecoba berkata meski terbata-bata. Ku rasakan benar posisinya, aku tau benar bagaimana hatinya ingin menjerit dan butuh bala bantuan. Kenapa harus ada sebutan anak tiri, tak ada yang ingin menyandang status seperti itu , saat kesetiaan di balas dengan cacian dan hinaan. Kehilangan sosok seorang Ibu bukan hal yang perlu diratapi, namun bila sosok itu tergantikan oleh orang yang tak mengenal arti mengasihi seorang anak yang merindukan sosok yang penyayang dalam keluarga. Tegar, hanya itu yang mampu ia pertahankan. Meski dalam kesendiriannya, ia menangis. Hari ini ia luluh, hari ini ia merasa lelah, hari ini ia menyerah, atas do’a dan pengharapan bahwa segalanya akan berubah. Rintik air mata membuat getaran saat ia mencoba berbicara “mbak, aku merindukan ibuku, bolehkah aku memelukmu”. Ya Allah, ku peluk ia erat-erat.

Program KKN dan PPL di mulai hari ini, program yang mau tidak mau harus aku ikuti, karena wajib sebagai syarat wisuda. Hanya yang aku permasalahkan di sini adalah fasilitas yang cukup memberatkan hati, transportasi yang sama sekali tak memadai, jalan yang tak bersahabat dan lain sebagainya. Dan aku harus bertahan selam delapan puluh hari di Desa Margomulyo Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat di daerah yang cukup terpencil yang jauh dari akses informasi, jangankan internet, sinyalpun berasa pelit untuk sekedar berkirimkan pesan.

Jam delapan tepat, jam pertama di mulai di hari senin selepas upacara.  Hari ini adalah hari pertama aku mengajar di sekolah, dan ini untuk yang pertama aku menyandang status sebagai guru meski hanya sementara. Antara sanggup dan tak sanggup, antara ragu dan perasaan belum pantas berbicara di depan, memikirkan diriku sendiri yang belumlah baik. Ahhhh ku tepis semuanya, dan akupun berjanji pada diriku sendiri, mulai hari ini dan seterusnya aku akan terus memperbaiki diri, menjadi ibu untuk murit-murit ku, menjadi teladan untuk mereka, dan menjadi sahabat mereka. Akupun sudah sedikit belajar tentang tatacara mengajar, bukan sekedar mengajar, tapi bagaimana layaknya seorang guru menjadi sahabat dikelas. Dari pengalaman seminar dan training yang sering aku berikan baik di sekolah-sekolah maupun di luar sekolah. Akupun dapat  sedikit memahami karakter mereka. Meski ini adalah kali pertamanya aku menghadapi mereka, tepatnya untuk mengajar matematika.

Teringat motivasi yang benar-benar menggugah pikiranku, kata-kata motivasi yang ku dapatkan dari seorang guru yang selama ini banyak mengajarkan ku tentang dunia training. Saat itu, kami berjumpa di salah satu moment training besar di Bandung, dan beliau mengatakan padaku, “murit tak membutuhkan guru yang pintar, namun murit membutuhkan guru yang bisa mengajar, tidak ada murit yang bodoh, yang ada adalah guru yang membuat mereka merasa bodoh sehingga mereka di katakan boroh, semua murit pintar, karena guru yang bisa mengajar, begitu pula dalam training, siapa yang ada di depan kita adalah murit-murit kita”. Motivasi yang benar-benar tertanam dalam diriku,  dan saat inipun kata-kata itulah yang menemaniku melangkah menuju ruang kelas.

Aku masih agak canggung saat kunampakkan diriku di depan anak-anak. Deg... tarikan nafas ku membuatku sedikit rileks, tak kusadari ternyata banyak mata yang melihatku dan menungguku mengeluarkan kata-kata. Ahhh mereka, tubuh mereka tinggi-tinggi berbeda jauh dengan ku,  kecil, mungil, dan sekarang harus mulai terbiasa dengan sebutan Guru. Jam pertama ku mengisi kelas tiga, sapaan hangat dan perkenalan benar-benar mencairkan suasana. Alhamdulillah sambutan mereka sangat baik, sedikit PD ternyata mereka lebih menyukaiku ketimbang guru sebelumnya, hahaha... bahak ku dalam hati, dan moment itu tak kalah dari kelas lainnya. Alhamdulillah.... lagi-lagi tak lelah ku mengucapkan rasa syukur kepada-Nya atas ilmu yang telah Ia berikan padaku. Sehingga aku dengan mudah mempelajari karakter mereka...

Sudah tiga minggu aku mengajar disini. Aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan disini, Desa Margo Mulyo, Tulang Bawang Barat dan ini kali pertama aku singgah di tempat orang dalam waktu yang lama. Ahhh masih enam puluh tujuh hari lagi aku disini. Mengajar di MA Hidayatul Mubtadiin yang rawan dengan murit yang hampir punah. Tapi yang saya lihat adalah semangat belajar mereka. Tak kenal lelah meski ku akui, sulit untuk mereka menerima materi pelajaran. Karena keterbatasan transportasi dan fasilitas yang memadai. Akupun sangat senang, bisa memberikan sedikit yang aku miliki meski hanya sekedar ilmu.

Hari ini jadwal ku masuk kelas tiga, ada satu yang mengganjal hati ku di sini. Seorang anak dengan wajah yang sangat ceria dan bersemangat, namun jauh di dalam hatiku mengatakan ada yang sedang ia sembunyikan. Nampak jelas aku dapat membaca sedikit apa yang membebani pundaknya, apakah itu...? akupun tak tau. Hingga tumbuh rasa penasaran ku, dan ku beranikan untuk sekedar salam sapa lebih dekat. Keesokan harinya aku mendapatkan surat darinya, tak bisa berbicara di hadapan ku, meski ingin namun lidah terasa kelu. Tak bisa mengirimkan pesan lewat HP karena bingung memulai dari mana. Hingga ia memutuskan untuk menuliskan dalam tiga lembar kertas yang ia titipkan pada teman sebangkunya.

Ku baca dalam-dalam, tetesan air mata tak cukup mewakili rasa duka yang ku rasakan dari ceritnya. Bahkan teman sebangkunya tak tau apa-apa perihal kemelut di hatinya. Tak ada yang tau mengapa selama ini ia tinggal hanya dengan neneknya, pun tak ada yang menyadari mengapa selama ini ia jarang menceritakan sosok seorang ibu, ia begitu pandai menyembunyikannya, namun sejatinya ia terluka....

Habis  sudah masa KKN dan PPL, ada perpisahan kecil dari sekolah melepas kepergian kami, kami sekelompok sempat menginap semalam di sekolah, berapi unggun ria dan acara bakar ayam kecil-kecilan. Ku lihat anak itu melihat ku lekat, kudekati ia, dan “brukkk” ia ada dekapanku, dalam pelukan ku, menangis tersedu –sedu. Pesan yang ia sampaikan pun ku balas dengan sepucuk surat, alhamdullah bisa sedikit mengobati rasa sakitnya, namun yang membuat ku pilu adalah kata-katanya “mbak, maukah jadi Ibuku...?”. Ya Allah, andaikan ku mampu, pantaskah aku, ia yang mampu menyimpan sembilu di balik lentera hatinya, ia yang mampu menutupi luka, ia yang begitu tegar dan mampu menahan amarah dalam-dalam. Sedangkan aku, Ya Allah...... aku belajar banyak dari anak ini....

Tidak ada komentar: